Tidak semua sosok penarik becak berada dibawah garis kemiskinan dan kumuh.
Haji Wahid (56),penarik becak, yang biasanya mangkal di kawasan Gunung
Pereng Kec. Cihideung, Tasikmalaya, adalah sosok lain dari seorang penarik
becak. Selain santun, Wahid ulet dan rajin menabung. Buah dari semua itu, ia
bersama istrinya Hj. Siti Hujaenah, bisa menunaikan ibadah haji pada tahun
2004."Saya bersyukur, karena dari hasil cucuran keringat ini, bisa naik haji
dan menyekolahkan anak," kata Hawid saat ditemui di Terminal Bus
Tasikmalaya, Jumat (5/5).

Pada tahun 1972 Wahid memulai bekerja sebagai penarik becak di Gunung
Pereng. Ia mendapatkan becaknya dari hasil kredit yang dibayarkannya setiap
hari. "Waktu iu saya mencicil Rp 150,00/hari. Cicilan itu, saya bayar selama
kurang lebih setahun," kata warga Jl. Paseh Kota Tasikmalaya ini.

Lunas membayar becak, ayah tiga anak ini mulai menabung untuk membeli tanah
buat tempat tinggalnya. Berkat kerja keras siang dan malam menarik becak,
serta kedisiplinannya dalam menggunakan uang, ia mampu membeli tanah dan
membangun rumah. "Sebagian dari hasil menarik becak, saya tabungkan untuk
berbagai keperluan," katanya.

Lalu ia kembali mengambil cicilan becak, dengan harapan bisa disewakan
kepada rekan lainnya. Ternyata cara itu cukup menambah penghasilan bagi
Wahid. Dari satu becak, lalu sampai akhirnya tahun ini, ia bisa memiliki 40
becak. "Di antaranya, 25 becak milik saya disewakan dengan tarif Rp
4.000,00/hari.
Sisanya, saya kreditkan kepada orang lain," ujarnya.

Tidak hanya itu, sejak punya dua becak, keluarga ini menabung agar bisa naik
haji. Tak ada target harus berapa besar tabungan terisi setiap bulannya.
Wahid hanya menyisihkan uang dari hasil usahanya, setelah digunakan untuk
makan serta kebutuhan sehari-hari.

Ia juga berhasil menyekolahkan ketiga anaknya dengan baik. Anak pertama,
Wawan lulusan Diploma 2, adiknya Eva jebolan SLTA. Si bungsu Dedi, masih
sekolah di SMA.

Setelah becaknya bertambah, ia akhirnya mendirikan kamar kontrakan di daerah
Gunung Pereng, Kota Tasikmalaya. Saat ini, ada 25 kamar yang disewakan oleh
Wahid. Setiap kamarnya, disewakan Rp 85.000,00/bulan. "Lumayan untuk
menambah penghasilan," katanya.

Setelah merasa tabungan yang dikumpulkannya selama 30 tahun jumlahnya cukup,
pada tahun 2003 ia mendaftarkan diri untuk berangkat haji beserta istrinya.
Pada tahun 2004, Wahid bisa pergi ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam
kelima. Perasannya, benar-benar bahagia karena sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah terbayangkan ia bisa pergi ke tanah suci.

Hingga kini sekarang Wahid yang rajin ibadah ini, tetap mengayuh becak.
Sehari ia kadang mendapatkan Rp 10.000,00 hingga Rp 20.000,00. Tapi kadang
dia juga sama sekali kosong. Tapi semua itu, dijalani dengan kesabaran,
keuletan, dan kerja keras.

Wahid bisa membuktikan bahwa penarik becak juga bisa hidup dengan baik.
**
*Sumber: Pikiran Rakyat, 6 Mei 2006*


Berita di PR ini sempat terlewatkan, beruntung rekan saya Fatra (dosen
antik), sempat kasih comment di blog saya. Pagi ini saya bongkar-bongkar
kembali tumpukan koran PR, dan ketemu juga. Ada yang menarik dan menjadi
bahan pelajaran buat saya. Bukan kerja keras, keuletan, kesabaran dari Pak
Wahid yang membuat saya terinspirasi. Semua orang sudah tahu, kerja keras,
tekun, ulet, sabar, adalah pepatah klasik untuk kita bisa berhasil/sukses.

Yang menarik perhatian saya adalah cara Pak Wahid meningkatkan
penghasilannya. Dia tidak bekerja mengayuh becak 24 jam.., dan pasti dia
tahu itu tidak mungkin. Tapi yang dilakukannya adalah menyisihkan dari
penghasilannya untuk mulai berinvestasi. Pertama dengan mengambil kredit
becak lagi, untuk kemudian disewakan kepada orang lain. Selanjutnya bahkan
dia membeli becak, untuk dikreditkan kepada orang lain. Artinya, Pak Wahid
sudah membuka usaha LEASING becak. Tahap selanjutnya dari penghasilannya
tersebut dia membeli tanah untuk membangun rumah/kamar kontrakan.

Coba kita hitung saja, sekarang kamar kontrakannya ada 25 buah, disewakan Rp
85.000,00 per bulan. Berarti kalau sewaan terisi penuh Pak Wahid akan
memperoleh penghasilan 25 x Rp 85.000,00 = Rp 2.125.000,00. Waw.., S1 fresh
graduate aja gajinya ga sampe segini. Dan Pak Wahid sebetulnya tidak harus
bekerja lagi, dia tetap akan menerima penghasilan dari sewaan kamar dan
sewaan becak miliknya. Namun, Pak Wahid tetap juga mengayuh becak. Ga tau
kenapa..? Apakah itu adalah His Calling? (ya kan Pak Harry?)

Saya tidak tahu apakah Pak Wahid membaca buku Robert Kiyosaki? Atau sempat
membaca bukunya Valentino Dinsi, atau bukunya Safir Senduk? Saya kira
tidak..
Pak Wahid mulai menarik becak sejak tahun 1972. Buku-buku tersebut belum
terbit di Indonesia. Tapi Pak Wahid sudah memiliki satu kecerdasan lain yang
tidak banyak dimiliki oleh orang lain, yaitu Kecerdasan Finansial.

Saya sendiri merasa malu.., bisa jadi saya memiliki penghasilan yang lebih
besar dari Pak Wahid. Tapi saya hingga saat ini belum memiliki aset yang
bisa dibilang benar-benar aset. Mungkin diantara anda juga mengalami hal
yang sama, bekerja tiap hari, kok gaji ga cukup-cukup ya..? Kok saya puluhan
tahun terus bekerja, belum juga punya aset..?

Sepertinya kita harus mulai bercermin dari Pak Wahid. Ya kan Pak Safir
Senduk..? Hehehe

1 komentar
  1. Rusman Daniswara May 28, 2009 at 10:59 PM  

    artikel yang sangat menarik. secara tidak sadar pak wahid sebenarnya membangun sebuat sistem yang bekerja untuknya dan menghasilkan uang sekalipun pak wahid tidak bekerja ia akan tetap mempunyai penghasilan dari sistem tadi.